What's on your mind?

karena setiap moment sangat berarti.....

dan aku hanya ingin tersenyum ketika membaca celotehan dari moment menyenangkan yang menggelikan, ketika ingatanku sudah tergerus detik waktu ...

He has been proposed me :)

Daisypath - Personal pictureDaisypath Wedding tickers

Kamis, 17 April 2014

MENGIBARKAN “MERAH PUTIH” DI PUNCAK TERTINGGI DI PULAU JAWA


Memiliki hobby mendaki gunung bukan merupakan hal yang mudah. Banyak orang yang memandang mendaki gunung merupakan kegiatan yang aneh, buang-buang waktu, dan justru sangat berbahaya. Hal tersebut tidak semuanya salah. Namun bagi saya, mendaki gunung adalah sebuah proses kehidupan yang sesungguhnya J

Banyak persiapan yang dibutuhkan untuk mendaki gunung. Mulai dari kesiapan fisik, mental, materi, dan doa. Saya termasuk orang yang sangat jarang berolahraga, idealnya seseorang harus melakukan kegiatan olah fisik setidaknya satu bulan sebelum mendaki. Secara mental saya juga bukan seorang perempuan yang pemberani, terlebih dengan hal-hal yang berbau mistis di gunung. Namun, rasa lelah dan kebersamaan bersama teman-teman ketika mendaki terasa lebih dominan ketimbang kekhawatiran akan makhluk ghaib. Kuncinya adalah, setiap orang harus berlaku sopan santun dimanapun dia berada.

Saya selalu berusaha membuat perencanaan akomodasi secara nyaman, dan murah tentunya. Jika harus bepergian dengan menggunakan pesawat, maka saya adalah salah satu orang yang belum pernah naik pesawat dengan harga tiket normal (read : selalu tiket promo). Hal tersebut menjadi kepuasan tersendiri jika bisa mendapatkan transportasi dengan bajet minim tetapi kenyamanan maksimum.

Jadilah hari itu saya berniat pergi ke atap pulau jawa. Perjalanan dimulai dari Jakarta ke Surabaya menggunakan pesawat citilink dengan biaya IDR 370.000 untuk pulang pergi (Jakarta-Surabaya-Jakarta). Dari Kota Surabaya saya melanjutkan perjalanan ke Kota Malang, Tumpang tepatnya. Terpaksa saya menggunakan jasa travel dari bandara karena saya landing di Surabaya hampir tengah malam sehingga agak sulit mencari angkutan umum untuk menuju Tumpang, yang harus dilalui dengan berganti naik turun angkutan umum. Mungkin akan menyenangkan jika saya bepergian dengan tas ransel kecil di punggung, tetapi menjadi sangat merepotkan ketika saya harus menggemblok tas ransel ukuran besar dengan packingan barang yang sangat padat dan berat.

Dari Tumpang, rangkaian perjalanan dilanjutkan menuju ranu pane dengan naik truck double gardan. Apalah itu yang pasti angkutan yang menuju ranu pane harus dilengkapi dengan double ban karena trek perjalanan yang menanjak dan berliku. Saya sangat menikmati perjalanan menuju Ranu Pane karena sepanjang perjalanan saya disuguhkan pemandangan yang sangat memanjakan mata. Truk memasuki area TNG Tengger Bromo Semeru, deretan baris bukit teletubbiespun sangat meneduhkan mata.

Perjalanan belum usai. Dari Ranu pane saya memulai pendakian dengan berjalan kaki dengan menggendong tas berisi pakaian dan beberapa logistik makanan di dalamnya. Saya start pendakian sekitar pukul 9 pagi menuju pemberhentian pertama yaitu Ranu Kumbolo yang akan dilanjutkan sampai ke Hutan Kalimati. Jarak Ranu Pane ke Ranu Kumbolo adalah sekitar sekian KM dan saya tempuh dalam waktu kurang lebih 4 jam. Treknya masih dibilang cukup landai. Selama perjalanan saya pun banyak berhenti sejenak untuk beristirahat dan sekedar merebahkan badan di tanah. Perjalanan dari Ranu Kumbolo ke Kalimati sekitar sekian KM dan saya tempuh selama sekian jam. Di kalimati kemudian saya mendirikan tenda beserta rombongan lainnya. Pukul 21.00 sayapun kemudian tertidur pulas karena kelelahan.

Pukul 00.00 dini hari, saat mata baru saja terpejam 3 jam dan saya masih sangat mengantuk, saya harus bangun dan mempersiapkan diri dan perlengkapan untuk memulai perjalanan yang sesungguhnya. Perjalanan ini baru akan dimulai. Perjalanan menuju puncak gunung tertinggi di pulau Jawa, mahameru. Saya melawan rasa dingin yang seolah menggigit kulit saya, 4 lapis pakaian dan 2 lapis celana rasanya tidak cukup memberikan rasa hangat sehingga saya masih saja menggigil dibuatnya. Niat menapaki atap jawa tak luntur, saya terus bergerak agar saya tidak terserang hipotermia.

Pukul 00.30 WIT, setelah berdoa dan memastikan perlengkapan dan pakaian saya nyaman, saya beserta rombongan memulai perjalanan summit attack menuju Arcopodo. Perjalanan ke atap pulau jawa ini tidak mudah, karena setelah saya sampai di batas vegetasi, selanjutnya track didominasi oleh pasir dan bebatuan. Perjalanan sangat menguras tenaga karena setiap kaki ini melangkah satu sampai dua langkah, maka akan merosot satu langkah. Begitu seterusnya sampai saya benar-benar sampai ke puncaknya. Kondisi alam menjadi salah satu faktor keberhasilan semua pendaki di Mahameru. Jika alam tidak mengizinkan, maka sekuat apapun tenaga yang dikeluarkan, maka saya beserta rombongan tidak akan bisa mencapai puncak nya para dewa tersebut. Terbukti, dari sekitar tiga puluh orang rombongan, hanya saya dan tujuh orang lainnya yang berhasil mencapai puncak mahameru. Selebihnya, gugur dan menyerah di tengah perjalanan karena kelelahan, kehausan, dan kelaparan. Hal tersebut tersebut terjadi karena mereka tidak menyiapkan perlengkapan summit yang matang ditengah kondisi alam yang sangat menantang.

Matahari mulai menerangi jalan saya, saat headlamp di kening saya mulai tidak terasa mengeluarkan cahayanya.  Garis oranye kekuningan mulai terlihat sebelum sang surya itu benar-benar muncul. Mungkin inilah sunrise sesungguhnya yang selama ini orang-orang bilang, yaitu saat bisa melihat matahari muncul setitik dari belakang garis kemerahan hingga akhirnya membesar dan bulat sempurna. Ahh indahnya pemandangan yang saya saksikan ini. Rombongan lainpun mulai terlihat tak jauh di depan dari tempat saya berdiri miring, sehingga menjadi acuan dan semangat saya untuk terus melangkah. Mereka mungkin hanya 30 meter di depan saya, namun ternyata untuk mencapai ke titik mereka berdiri, dibutuhkan waktu berjam-jam. Subhanallah.. tidak ada artinya langkah-langkah saya kala itu. Saya melangkah kemudian merosot. Saya melangkah setapak demi setapak, saya tetap merosot kembali. Saya mengumpulkan segenap tenaga untuk melangkah lebih cepat dan berharap akan ada hasil yang lebih signifikan ketimbang saya berjalan pelan-pelan, dan saya tetap merosot lebih banyak lagi. Semua terasa mustahil untuk mencapai puncak saat itu dan sayapun sempat meragukan diri saya mampu mencapai puncak. Nafas mulai tersengal-sengal, sangat pendek rasanya. Kandungan oksigen semakin menipis sehingga saya harus sering-sering menghela nafas dengan hentakan sembari berteriak “huahh” untuk sekadar melegakan nafas. Bentol-bentol keringat mulai mengucur deras, dehidrasi sangat terasa, yang saya butuhkan adalah minum dan tidur. Saya sangat mengantuk. Sangat sangat mengantuk. Tak heran saya sering dibangunkan oleh rekan saya yang berjalan tak jauh dibawah saya karena ternyata saya telah tertidur di jalur pendakian diatas pasir. Ya, saya tertidur di jalur summit mahameru, tertidur di ketinggian dan dalam gigitan dinginnya angin puncak mahameru.

Putus asa? Ya, saya hampir putus asa. Lelah yang teramat sangat sudah mendera saya. Pandangan mulai kabur, mata terasa berat ingin sekali terpejam, telinga terasa tak mendengar apa-apa kecuali suara hembusan angin yang lebih mirip seperti suara ombak di pantai. Kaki? Ah, kaki seolah tak sanggup lagi melangkah, terlebih jika harus terus merosot di jalur bebatuan dan pasir itu. Jika saya bisa, saya akan bayar berapapun mahalnya jika ada orang yang mau menggendong saya untuk sampai ke rumah. Bayangan tidur di kasur kesayangan dengan bantal dan guling bau iler kabanggan membayangi saya kala itu. Saya ingin pulang. Sayangnya, saya tidak punya banyak uang untuk menyuruh orang lain menggendong saya. Kalopun saya ada uang, mungkin tidak akan ada orang yang mau melakukannya karena mereka semua pun sedang berjuang masing-masing untuk mempertahankan nyawa mereka.

Yang bisa saya lakukan hanya pasrah sambil berdoa. Saya tak henti-hentinya melafadzkan nama Allah sepanjang langkah-langkah kecil kaki saya. Ditambah, sesama rekan rombongan tak henti-hentinya saling memberikan support mereka. Saya terus berjalan. Selangkah demi selangkah saya tapaki jalur bebatuan dan pasir itu. Istirahat sejenak untuk kemudian melangkah lagi. Tertidur sesaat untuk kemudian melanjutkan perjalanan. Terperosok, terjatuh, besut, duduk sejenak, kemudian melangkah lagi. Semua demi mimpi dan tujuan awal saya untuk bisa menggapai puncak mahameru. Proses inilah yang saya ilhami sebagai proses kehidupan yang sebenarnya. Karena untuk meraih apa yang kita inginkan, kita harus berjuang dan bekerja keras dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkannya. Dan saat itu, Mengibarkan merah putih di puncak para dewa, di puncak tertinggi di pulau jawa merupakan kebanggan buat saya..

Setelah perjalanan melelahkan selama 8 jam perjalanan untuk summit, akhirnya saya bisa mengibarkan bendera sangsaka merah putih dipuncak mahameru. Perjalanan dilanjutkan untuk kembali ke Hutan Kalimati. Dan masih sampai saat ini saya mempunyai mimpi, suatu hari, saya berharap bisa mengibarkan bendera di puncak-puncak tertinggi lainnya di bumi tanah air Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar