Memiliki hobby mendaki gunung bukan merupakan hal yang
mudah. Banyak orang yang memandang mendaki gunung merupakan kegiatan yang aneh,
buang-buang waktu, dan justru sangat berbahaya. Hal tersebut tidak semuanya
salah. Namun bagi saya, mendaki gunung adalah sebuah proses kehidupan yang
sesungguhnya J
Banyak persiapan yang dibutuhkan untuk mendaki gunung. Mulai
dari kesiapan fisik, mental, materi, dan doa. Saya termasuk orang yang sangat
jarang berolahraga, idealnya seseorang harus melakukan kegiatan olah fisik
setidaknya satu bulan sebelum mendaki. Secara mental saya juga bukan seorang perempuan
yang pemberani, terlebih dengan hal-hal yang berbau mistis di gunung. Namun,
rasa lelah dan kebersamaan bersama teman-teman ketika mendaki terasa lebih
dominan ketimbang kekhawatiran akan makhluk ghaib. Kuncinya adalah, setiap
orang harus berlaku sopan santun dimanapun dia berada.
Saya selalu berusaha membuat perencanaan akomodasi secara nyaman,
dan murah tentunya. Jika harus bepergian dengan menggunakan pesawat, maka saya
adalah salah satu orang yang belum pernah naik pesawat dengan harga tiket
normal (read : selalu tiket promo). Hal tersebut menjadi kepuasan tersendiri
jika bisa mendapatkan transportasi dengan bajet minim tetapi kenyamanan
maksimum.
Jadilah hari itu saya berniat pergi ke atap pulau jawa.
Perjalanan dimulai dari Jakarta ke Surabaya menggunakan pesawat citilink dengan
biaya IDR 370.000 untuk pulang pergi (Jakarta-Surabaya-Jakarta). Dari Kota
Surabaya saya melanjutkan perjalanan ke Kota Malang, Tumpang tepatnya. Terpaksa
saya menggunakan jasa travel dari bandara karena saya landing di Surabaya hampir
tengah malam sehingga agak sulit mencari angkutan umum untuk menuju Tumpang,
yang harus dilalui dengan berganti naik turun angkutan umum. Mungkin akan
menyenangkan jika saya bepergian dengan tas ransel kecil di punggung, tetapi
menjadi sangat merepotkan ketika saya harus menggemblok tas ransel ukuran besar
dengan packingan barang yang sangat padat dan berat.
Dari Tumpang, rangkaian perjalanan dilanjutkan menuju ranu
pane dengan naik truck double gardan. Apalah itu yang pasti angkutan
yang menuju ranu pane harus dilengkapi dengan double ban karena trek perjalanan
yang menanjak dan berliku. Saya sangat menikmati perjalanan menuju Ranu Pane
karena sepanjang perjalanan saya disuguhkan pemandangan yang sangat memanjakan
mata. Truk memasuki area TNG Tengger Bromo Semeru, deretan baris bukit
teletubbiespun sangat meneduhkan mata.
Perjalanan belum usai. Dari Ranu pane saya memulai pendakian
dengan berjalan kaki dengan menggendong tas berisi pakaian dan beberapa
logistik makanan di dalamnya. Saya start pendakian sekitar pukul 9 pagi menuju
pemberhentian pertama yaitu Ranu Kumbolo yang akan dilanjutkan sampai ke Hutan
Kalimati. Jarak Ranu Pane ke Ranu Kumbolo adalah sekitar sekian KM dan saya
tempuh dalam waktu kurang lebih 4 jam. Treknya masih dibilang cukup landai.
Selama perjalanan saya pun banyak berhenti sejenak untuk beristirahat dan
sekedar merebahkan badan di tanah. Perjalanan dari Ranu Kumbolo ke Kalimati
sekitar sekian KM dan saya tempuh selama sekian jam. Di kalimati kemudian saya
mendirikan tenda beserta rombongan lainnya. Pukul 21.00 sayapun kemudian
tertidur pulas karena kelelahan.
Pukul 00.00 dini hari, saat mata baru saja terpejam 3 jam
dan saya masih sangat mengantuk, saya harus bangun dan mempersiapkan diri dan
perlengkapan untuk memulai perjalanan yang sesungguhnya. Perjalanan ini baru
akan dimulai. Perjalanan menuju puncak gunung tertinggi di pulau Jawa, mahameru.
Saya melawan rasa dingin yang seolah menggigit kulit saya, 4 lapis pakaian dan
2 lapis celana rasanya tidak cukup memberikan rasa hangat sehingga saya masih
saja menggigil dibuatnya. Niat menapaki atap jawa tak luntur, saya terus
bergerak agar saya tidak terserang hipotermia.
Pukul 00.30 WIT, setelah berdoa dan memastikan perlengkapan
dan pakaian saya nyaman, saya beserta rombongan memulai perjalanan summit
attack menuju Arcopodo. Perjalanan ke atap pulau jawa ini tidak mudah, karena
setelah saya sampai di batas vegetasi, selanjutnya track didominasi oleh pasir
dan bebatuan. Perjalanan sangat menguras tenaga karena setiap kaki ini
melangkah satu sampai dua langkah, maka akan merosot satu langkah. Begitu
seterusnya sampai saya benar-benar sampai ke puncaknya. Kondisi alam menjadi
salah satu faktor keberhasilan semua pendaki di Mahameru. Jika alam tidak
mengizinkan, maka sekuat apapun tenaga yang dikeluarkan, maka saya beserta
rombongan tidak akan bisa mencapai puncak nya para dewa tersebut. Terbukti, dari
sekitar tiga puluh orang rombongan, hanya saya dan tujuh orang lainnya yang
berhasil mencapai puncak mahameru. Selebihnya, gugur dan menyerah di tengah
perjalanan karena kelelahan, kehausan, dan kelaparan. Hal tersebut tersebut
terjadi karena mereka tidak menyiapkan perlengkapan summit yang
matang ditengah kondisi alam yang sangat menantang.
Matahari mulai menerangi jalan saya, saat headlamp di kening
saya mulai tidak terasa mengeluarkan cahayanya.
Garis oranye kekuningan mulai terlihat sebelum sang surya itu
benar-benar muncul. Mungkin inilah sunrise
sesungguhnya yang selama ini orang-orang bilang, yaitu saat bisa melihat
matahari muncul setitik dari belakang garis kemerahan hingga akhirnya membesar
dan bulat sempurna. Ahh indahnya pemandangan yang saya saksikan ini. Rombongan
lainpun mulai terlihat tak jauh di depan dari tempat saya berdiri miring, sehingga
menjadi acuan dan semangat saya untuk terus melangkah. Mereka mungkin hanya 30
meter di depan saya, namun ternyata untuk mencapai ke titik mereka berdiri,
dibutuhkan waktu berjam-jam. Subhanallah.. tidak ada artinya langkah-langkah
saya kala itu. Saya melangkah kemudian merosot. Saya melangkah setapak demi
setapak, saya tetap merosot kembali. Saya mengumpulkan segenap tenaga untuk
melangkah lebih cepat dan berharap akan ada hasil yang lebih signifikan ketimbang saya
berjalan pelan-pelan, dan saya tetap merosot lebih banyak lagi. Semua terasa
mustahil untuk mencapai puncak saat itu dan sayapun sempat meragukan diri saya
mampu mencapai puncak. Nafas mulai tersengal-sengal, sangat pendek rasanya. Kandungan
oksigen semakin menipis sehingga saya harus sering-sering menghela nafas dengan
hentakan sembari berteriak “huahh” untuk sekadar melegakan nafas. Bentol-bentol
keringat mulai mengucur deras, dehidrasi sangat terasa, yang saya butuhkan
adalah minum dan tidur. Saya sangat mengantuk. Sangat sangat mengantuk. Tak
heran saya sering dibangunkan oleh rekan saya yang berjalan tak jauh dibawah
saya karena ternyata saya telah tertidur di jalur pendakian diatas pasir. Ya,
saya tertidur di jalur summit mahameru, tertidur di ketinggian dan dalam gigitan
dinginnya angin puncak mahameru.
Putus asa? Ya, saya hampir putus asa. Lelah yang teramat
sangat sudah mendera saya. Pandangan mulai kabur, mata terasa berat ingin sekali
terpejam, telinga terasa tak mendengar apa-apa kecuali suara hembusan angin
yang lebih mirip seperti suara ombak di pantai. Kaki? Ah, kaki seolah tak
sanggup lagi melangkah, terlebih jika harus terus merosot di jalur bebatuan dan
pasir itu. Jika saya bisa, saya akan bayar berapapun mahalnya jika ada orang
yang mau menggendong saya untuk sampai ke rumah. Bayangan tidur di kasur
kesayangan dengan bantal dan guling bau iler kabanggan membayangi saya kala
itu. Saya ingin pulang. Sayangnya, saya tidak punya banyak uang untuk menyuruh
orang lain menggendong saya. Kalopun saya ada uang, mungkin tidak akan ada
orang yang mau melakukannya karena mereka semua pun sedang berjuang
masing-masing untuk mempertahankan nyawa mereka.
Yang bisa saya lakukan hanya pasrah sambil berdoa. Saya tak
henti-hentinya melafadzkan nama Allah sepanjang langkah-langkah kecil kaki
saya. Ditambah, sesama rekan rombongan tak henti-hentinya saling memberikan
support mereka. Saya terus berjalan. Selangkah demi selangkah saya tapaki jalur
bebatuan dan pasir itu. Istirahat sejenak untuk kemudian melangkah lagi.
Tertidur sesaat untuk kemudian melanjutkan perjalanan. Terperosok, terjatuh,
besut, duduk sejenak, kemudian melangkah lagi. Semua demi mimpi dan tujuan awal
saya untuk bisa menggapai puncak mahameru. Proses inilah yang saya ilhami
sebagai proses kehidupan yang sebenarnya. Karena untuk meraih apa yang kita
inginkan, kita harus berjuang dan bekerja keras dengan sungguh-sungguh untuk
mewujudkannya. Dan saat itu, Mengibarkan merah putih di puncak para dewa, di
puncak tertinggi di pulau jawa merupakan kebanggan buat saya..
Setelah perjalanan melelahkan selama 8 jam perjalanan untuk summit, akhirnya saya
bisa mengibarkan bendera sangsaka merah putih dipuncak mahameru. Perjalanan dilanjutkan untuk kembali ke Hutan Kalimati. Dan masih sampai saat ini saya mempunyai mimpi, suatu hari, saya berharap
bisa mengibarkan bendera di puncak-puncak tertinggi lainnya di bumi tanah air
Indonesia.